Cara Menyanyikan Mazmur
Kebiasaan menyampaikan kisah, pesan, dan ajaran dalam bentuk nyanyian bebas, sudah ada di dalam kebudayaan nusantara. Salah satu contohnya adalah tradisi menuliskan sejarah dan ajaran keutamaan dalam bentuk tembang Macapat di Jawa. Misal Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV. Semua teks dalam buku itu dibuat untuk dinyanyikan. Romo Sindhunata, SJ mengadopsi tradisi ini untuk menyampaikan ayat-ayat kitab suci. Beberapa kelompok di Jawa Tengah menjadikannya sebagai bahan pertemuan pendalaman iman.
Tradisi Mekidung di Bali juga cukup mengakar di dalam masyarakat. Sumber naskahnya dari kitab-kitab yang ditulis di lontar selama ratusan tahun. Karena tujuannya berkisah dan menyampaikan ajaran, maka kejelasan teks menjadi penting dalam tradisi nyanyian tersebut. Pembawaannya tenang dan khidmat. Di akhir sebuah untaian kidung, kadang juga disertai uraian tentang makna teksnya oleh seorang tokoh atau yang dituakan.
Maka sebenarnya umat Katolik Indonesia cukup mempunyai potensi, kekayaan batin, dan referensi kultural untuk bisa membawakan mazmur dengan baik. Karena bukankah pada dasarnya mazmur adalah teks dengan pesan-pesan khusus yang dinyanyikan.
Beberapa butir gagasan yang bisa dijadikan pegangan dalam membawakan mazmur sesuai dengan Missale Romanum 2002 dan Tata Cara Perayaan Ekaristi tentang pembawaan mazmur tanggapan adalah sebagai berikut:
- Mazmur tanggapan sebaiknya dinyanyikan, sekurang-kurangnya pada bagian ulangan
- Mazmur tanggapan dinyanyikan dengan tenang dan mengalir
- Mazmur Tanggapan dibawakan secara khusus oleh pemazmur
Anjuran agar mazmur dinyanyikan dengan tenang dan mengalir adalah tepat. Meski tentu saja masih terlalu umum dan belum menukik ke persoalan teknis dalam menyanyikannya. Namun demikian sudah cukup memadai untuk dijadikan pegangan dasar.
Tenang bisa berarti dibawakan tanpa menyertakan hal-hal emosional seperti pada musik vokal dengan maksud untuk pertunjukan atau hiburan. Emosi harus dalam keadaan nol. Tidak perlu menampilkan kesedihan, kegembiraan yang berlebihan atau menghiba-hiba. Tetaplah dalam keadaan emosi yang terkontrol. Karena yang ditampilkan pemazmur seharusnya adalah ekspresi musikal yang meliputi keras lembut dan cepat lambat. Puncak pencapaian teknik pemazmur justru ketika mampu membawakan mazmur secara wajar, dan tanpa upaya berlebihan (effortless) . Banyak pemazmur yang terjebak untuk menyampaikan dengan penjiwaan yang berlebihan. Tentu saja hal demikian justru mengganggu. Kekuatan mazmur ada di dalam teks. Ketika teks tersampaikan dengan terang dan lagu membantu membangun suasana, maka proses penyampaian mazmur berhasil. Sebaliknya penyampaian dengan berbagai atraksi vokal justru mengganggu umat. Pembawaan yang berlebihan justru mengindikasikan proses penyampaian mazmur yang belum berhasil. Salah satu kata kuncinya adalah pembawaan yang tenang. Keadaan emosi yang tidak tenang secara teknis juga membuat pernafasan boros dan mudah tersengal.
Mengalir bisa diterjemahkan sebagai frasering atau pemenggalan kalimat lagu yang jelas, tanpa mengetuk dan dinyanyikan tanpa patah. Dalam musik vokal teknik ini dinamakan legato singing. Setiap suku kata mengesankan bersambung dengan suku kata berikutnya. Di dalam tradisi lagu gregorian kesan bersambung antar suku kata ini sangat penting. Perlakuan kalimat lagunya seperti busur yang melengkung panjang. Sebagian besar mazmur cocok dibawakan dengan pola arsis – tesis ini. Yaitu dimulai dengan ringan, sedikit menyepat dan mengeras, setelah sampai puncak melembut dan melambat. Cara menyanyi seperti ini menghindari mengetuk dan menekan, sebaliknya lebih dianjurkan untuk menjadi ringan dan bergerak maju. Meski lagu dengan birama ¾ yang biasa dinyanyikan dengan ketukan yang jelas seperti tarian Waltz misalnya, seyogyanya disikapi sebagai cara penulisan saja. Dalam menyanyikannya tetap tidak mengetuk dan tetap mengalir saja.
Suara Mazmur yang Ideal
Banyak mazhab vokal yang berkembang dalam sejarah musik dunia. Mulai yang tumbuh pada abad pertengahan yang minim vibrasi, barok yang gagah, sampai yang berpuncak pada masa berkembangnya musik vokal opera, hingga musik pop yang tumbuh pada masa piringan hitam mulai muncul. Di sisi lain juga ada musik vokal tradisi yang muncul di berbagai belahan dunia. Masing-masing jaman dan mazhab membangun indikator tentang suara yang ideal.
Musik vokal mazmur sebagai sebuah mazhab vokal perlu sekali membangun indikator tentang suara yang ideal. Sehingga ada arah yang jelas ketika membangun metoda dan kurikulum pelatihan. Pengembangan indikator ini juga menjadi penting sehingga ketika diselenggarakan lomba mazmur ada kejelasan dan kesamaan pendapat dalam melakukan pelatihan maupun penilaian.
Dari berbagai sumber pembelajaran vokal, bisa dikompilasi indikator suara ideal yang cocok untuk membawakan mazmur:
- Suara gelap-terang yang seimbang
Di dalam teknik vokal ada istilah chiaro - scuro yang menunjuk pada keseimbangan antara suara yang gelap dan terang. Seperti seorang teknisi mengelola sound system, suara bass dan trebel harus seimbang. Terlalu gelap membuat artikulasi menjadi tidak jelas. Terlalu terang akan membuat suara kurang bobot dan melayang-layang. Suara yang gelap biasanya diproduksi pada posisi yang terlalu dalam. Dengan menggeser peletakan suara ke depan, suara akan menjadi lebih terang.
- Suara cukup bulat
Lawan kata dari suara yang bulat adalah suara yang pipih atau cempreng. Suara yang cempreng diproduksi dengan posisi pita suara yang terlalu tinggi dengan rongga resonansi yang sempit. Memang dalam mazhab vokal tradisi, seperti misal vokal Jawa Tengah atau Jawa Timur, suara cenderung pipih. Namun ketika tangga nada diatonis itu sudah diadopsi menjadi lagu ibadat dengan iringan organ, seyogyanya dinyanyikan lebih bulat.
- Suara empuk
Suara yang empuk akan lebih nyaman didengar, dibanding suara yang keras atau pejal. Suara yang empuk dihasilkan dengan teknik vokal yang mengandalkan resonansi atau dengung, sementara suara yang pejal mengandalkan otot dan tenaga. Pada nada tinggi teknik suara yang pejal akan terkesan seperti teriakan daripada nyanyian.
- Suara mengalir wajar
Suara mazmur harus mengalir tanpa hentakan-hentakan atau tekanan-tekanan dan tidak dibuat-buat, sehingga mampu menyampaikan teks dengan jelas. Juga dalam menyanyikannya tidak perlu diindah-indahkan atau diberi aksen-aksen tertentu untuk mengekspresikan misalnya kesedihan atau kegembiraan. Wajar saja.
- Suara sesuai notasi
Suara yang tidak sesuai dengan notasi, baik karena bidikan nadanya terlalu tinggi atau terlalu rendah sangat mengganggu umat. Terlebih umat yang peka terhadap nada. Maka seyogyanya pemazmur harus mengindahkan ketepatan nada. Melodi di dalam buku mazmur tidak meganjurkan untuk memunculkan ornamentasi nada atau improvisasi nada. Jadi pemazmur cukup menyanyikan sesuai nada yang tertulis.
Warna suara yang indah karena bawaan lahir penyanyi tidak dimasukkan dalam indikator karena bisa dikatakan sebagai nilai plus atau bonus, karena tidak bisa dilatih. Hanya indikator yang bisa dilatih yang dimasukkan di dalam kurikulum. Indikator-indikator suara mazmur ideal di atas akan dikelola dalam kurikulum pelatihan tahap demi tahap.
Jay Wijayanto
Choral Conductor & Vocal Coach